A. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa. Masyarakat Indonesia dinamakan masyarakat majemuk (plural society). Pemahaman masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang majemuk, sebaiknya diganti dengan pemahaman bahwa kita adalah suatu masyarakat multikultural, dimana kebudayaan yang aneka ragam dihormati dan diberikan kesetaraan derajat.
Otonomi Daerah yang berlaku sejak 1 Januari 2001, telah berdampak pada setiap bidang kehidupan masyarakat. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional, dan agama.”
Dengan bidang keamanan dan peradilan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, awalnya diharapkan dapat bersifat lebih fleksibel dalam menghadapi otonomisasi. Upaya penyeragaman kebijakan keamanan dan sistem peradilan ternyata tidak berjalan baik dalam mewujudkan keadilan di masyarakat. Terjadinya pengingkaran terhadap adanya perbedaan budaya dan hukum dalam tiap komunitas masyarakat adat dan daerah yang diperkuat dengan berbagai sikap dan tindakan penguasa pusat yang sering melecehkan nilai dan harga diri masyarakat adat, menjadikan krisis kepercayaan menguat dan menunjukkan wajah radikal di masyarakat adat dan daerah.
Maka untuk mengatasi masalah tersebut tidak ada jalan lain kecuali mengadopsi ideologi multikulturalisme untuk membangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat multikultural. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan kesederajatan dalam kebudayaan, dalam akses terhadap sumberdaya politik, sosial, ekonomi, dan terhadap perlakuan hukum.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat (hukum) adat dalam konstitusi negara diatur dalam UUD 1945 pasal 18B (sebagai bagian Bab VI Pemerintahan Daerah) dan dalam pasal 28 I (sebagai bagian Bab X A Hak Asasi Manusia). Dengan jelas dikatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya (ps. 18 B) dan juga menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (ps.28 I).
Dalam perkuliahan Ilmu Kepolisian Indonesia, Prof. Mardjono Reksodiputro menyampaikan “bahwa landasan pentingnya kebudayaan adalah karena kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan secara menyeluruh yang dipunyai manusia berisikan pengetahuan, keyakinan, hukum, dan nilai-nilai budaya yang melekat pada orang perorang dan pada kelompok atau komuniti yang bersangkutan melalui pranata-pranata”. Dari hasil penelitian Hall (1959) diketahui bahwa 80% dari kepribadian orang-perorang itu dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya.
Agar peran polisi berjalan efektif maka dalam pemolisian komuniti “community policing” hubungan timbal balik secara kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat dibina. Hanya melalui kerjasama, dukungan dan bantuan para warga setempat, polisi dapat melawan kejahatan di daerah urban yang kumuh (daerah rawan konflik). Peranan polisi untuk menjaga keteraturan dan ketertiban di daerah-daerah ini sangat utama. Namun, mereka hanya akan berhasil, bila mana polisi dapat membuka jalur komunikasi yang jujur dan efektif dengan penghuninya.
Dengan memperhatikan corak kehidupan warga yang beraneka ragam, petugas Polisi harus mendapatkan kepercayaan (trust) dari anggota-anggota komuniti yang dapat digunakan dalam tugas-tugas kepolisian. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui antara lain:
1. Petugas polisi harus mempelajari bahasa dari setiap komuniti yang berbeda-beda sukubangsa. Kemampuan berbahasa setempat membantu Polisi dalam berkomunikasi dengan masyarakat setempat.
2. Mempelajari keanekaragaman kebiasaan dan adat atau kebiasaan sosial masyarakat setempat
3. Membangun hubungan pertemanan dengan masyarakat setempat untuk memperkuat hubungan jaringan sosial, hubungan pribadi dan saling percaya dengan masyarakat.
4. Memperkuat rasa saling tolong menolong tanpa pamrih dan balas jasa.
5. Petugas kepolisian dapat melakukan diskresi pada kasus- kasus tertentu untuk kepentingan umum, mengingat pelanggaran yang dilakukan pelaku adalah tindak pidana ringan.
6. Perlakukan dan pelayanan oleh petugas polisi terhadap warga dan berbagai kelompok sosial dan komuniti yang beragam haruslah sama dan adil serta tidak memihak pada salah satu kelompok tertentu
Hal diatas menjadi tugas berat Polri untuk menegakkan citra profesionalismenya sebagai alat negara, pengayom dan pelindung masyarakat dan penegak hukum bagi menciptakan rasa aman dan keadilan.
B. Pembahasan
Penulis berpendapat bahwa dengan bidang keamanan dan peradilan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, awalnya diharapkan dapat bersifat lebih fleksibel dalam menghadapi otonomi daerah. Upaya penyeragaman kebijakan keamanan dan sistem peradilan ternyata tidak berjalan baik dalam mewujudkan keadilan di masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum nasional yang melahirkan tindakan anarkis pada sebagian masyarakat Indonesia.
Sejalan dengan kuliah dari Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa bagi sebagian masyarakat, kebudayaan dijadikan pedoman atau aturan bagi kehidupan masyarakat adat yang berlaku di daerahnya, contohnya Fondrako (hukum dan tata cara adat) di Kepulauan Nias, Sumatera Utara yang sangat dihormati oleh warga Nias dan menyebabkan masyarakat setempat hidup dengan damai. Hal itu disebabkan sebelum melakukan suatu pelanggaran aturan, orang Nias selalu ingat sanksi hukum adat yang berat, hal mana dibuktikan dengan rendahnya angka kriminalitas di Kepulauan Nias. Masyarakat setempat memilih untuk tidak melanggar hukum adat karena sanksi yang berat dan keengganan berurusan dengan lembaga adat atau masyarakat adat.
Menghidupkan kembali hukum adat tidak serta merta menghilangkan peran Sistem Peradilan Pidana sebagai institusi legal yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Hukum adat harus tetap mengacu pada hukum nasional. Aturan-aturan adat kerap memiliki sanksi (negatif) apabila aturan itu dilanggar, maka pelanggar akan menderita; penderitaan yang sesungguhnya bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula (sebelum pelanggaran itu terjadi atau dilakukan).
Hal tersebut sesuai dengan ciri penghukuman yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, yaitu bahwa: Penghukuman harus menimbulkan rasa sakit yang tidak menyenangkan:
1. Penghukuman terjadi karena adanya pelanggaran hukum
2. Adanya tindakan dari pelanggar atau tertuduh
3. Tindakan penghukuman ditulis dengan sengaja oleh masyarakat, artinya telah di tulis dalam suatu kesepakatan khusus
4. Penghukuman telah disahkan oleh pemerintah
Setiap masyarakat adat memiliki lembaga adat yang bertugas mengontrol perilaku individu di dalam masyarakat dan menjalankan hukuman jika terjadi pelanggaran akan hukum adat. Contohnya pada kasus perkosaan dikalangan suku Ainan di Nusa Tenggara Timur, di mana jika terjadi perkosaan maka kepala suku Ainan atas dasar pengaduan korban akan membentuk tim untuk menyelidiki pengakuan korban, kemudian memanggil pelaku dan menyelidikinya. Jika pelaku terbukti bersalah, maka ada dua pilihan bagi pelaku, yaitu mau bertanggung jawab dan menikahi korban, atau menerima hukuman yang akan ditetapkan oleh tim yang dibentuk ketua adat tersebut. Penyelesaian ini terlihat begitu sederhana, namun bagi masyarakat adat mekanisme tersebut dianggap dapat memberikan keadilan ketimbang hukum nasional.
Dalam konsepsi ideologi multikulturalisme seharusnya penekanan adanya kesetaraan derajat tidak hanya dari aspek kebudayaan namun juga hukum, khususnya pengakuan hukum adat didalam hukum nasional. Untuk itu dalam implementasi hukum nasional dibeberapa daerah, perlu untuk mempertimbangkan penyelesaian hukum adat sebagai sebuah solusi alternatif dalam pengendalian dan penanganan masalah sosial di masyarakat. Polisi berperan sebagai jalur utama dari sistem peradilan pidana dan memegang peranan penting dalam setiap proses mediasi. Dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya, polisi dapat menjadi fasilitator proses mediasi antara korban, pelaku, dan masyarakat. Sedangkan mediator ditunjuk dari kesepakatan antara polisi dan lembaga adat.
Penulis berpendapat bahwa pengendalian problem-problem sosial dan kejahatan ditengah-tengah masyarakat adat sangat penting, apabila penerapan hukum adat diberlakukan, maka nuansa sistem peradilan pidana menjadi bergerak di antara crime control model dan due process model. Tingkah laku masyarakat yang cenderung lebih menghormati adat dapat menekan atau mengurangi perilaku jahat (crime conduct). Polisi sebagai komponen Sistem Peradilan Pidana (SPP) akan dapat melakukan efisiensi akibat dari kecepatan dalam penyelesaian masalah, karena sebelum masuk dalam peradilan pidana, polisi menjadi gerbang utama yang seharusnya dapat menyelesaikan konflik tersebut di luar jalur peradilan dengan melibatkan masyarakat, korban, pelaku serta lembaga adat. Hal ini dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dan mengendalikan kejahatan (crime control).
Kunci keberhasilan dari peranan masyarakat sebagai crime control adalah tumbuhnya “empowerment” atau penguatan dari unsur- unsur didalam masyarakat. Hal ini terlihat dari kemampuan orang-orang didalam masyarakat untuk memahami dan mengendalikan sendiri setiap permasalahan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi ditengah-tengah komunitas suatu masyarakat.
Berbagai kerawanan yang dapat menghambat tercapainya keamanan dan ketertiban masyarakat harus dapat ditangani dengan memanfaatkan potensi positif dinamis yang ada dalam masyarakat adat. Polri sebagai kekuatan inti dalam ketertiban masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi bimbingan tehnis membina, mengkoordinasikan dan mengawasi partisipasi masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Pengamanan lingkungan tersebut akan optimal apabila masyarakat turut berpartisipasi secara aktif.
Berbagai upaya pemberdayaan masyarakat oleh Polri dapat dilakukan melalui program-program kemitraan antara Polisi dan Masyarakat, seperti program penyuluhan kesadaran bahaya narkoba dan kesadaran penanganan kenakalan remaja dengan para orang tua murid, berkejasama dengan pemuka agama dan sekolah-sekolah terkait dengan deradikalisasi dan bahaya terorisme, hingga program sosialisasi dan pendampingan implementasi hukum adat untuk memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat.
Kemudian membangun partisipasi masyarakat dengan mengembangkan lembaga-lembaga masyarakat yang berperan aktif sebagai fasilitator masalah sosial antar masyarakat atau penanganan masalah sosial di masyarakat. Diharapkan lembaga- lembaga ini dapat memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik, keadilan hukum dan sosial, terpenuhinya kebutuhan akan informasi dan pengetahuan, sehingga kebutuhan masyarakat dalam mengendalikan dan menyelesaikan sendiri berbagai problem sosial yang ada ditengah- tengah masyarakat dapat dipenuhi secara mandiri.
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa partisipasi masyarakat tidak bisa diharapkan tumbuh dengan sendirinya tanpa pembinaan atau rangsangan yang tepat dan wajar. Partisipasi hanya mungkin dapat lahir dari suasana yang dialogis, hubungan yang akrab dan harmonis antara kepolisian dengan masyarakat, sebagai wujud penguatan unsur-unsur masyarakat. Oleh sebab itu setiap anggota Polri harus memiliki skill, kompetensi dan pengetahuan terkait dengan fungsi dan tugasnya menjadi mitra atau partner masyarakat.
C. Kesimpulan
Pelaksanaan Hukum adat dapat menjadi hukum positif pada daerah otonom dengan syarat pelaksanaannya harus tetap mengacu pada hukum nasional. Pemberlakuan hukum adat ini tidak serta merta menghilangkan fungsi komponen sistem peradilan pidana.
Peran komponen Sistem Peradilan Pidana ( SPP ) yang terbesar adalah dari pihak kepolisian. Polisi sebagai jalur pertama dari SPP, dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya dapat melakukan kerjasama dengan lembaga adat. Polisi juga yang menjadi fasilitator dalam mediasi yang dilakukan oleh korban, pelaku dan masyarakat. Polri diharapkan bertindak cepat, sigap, tanggap, dan profesional sehingga mampu mewujudkan harapan polisi sebagai “Poblem Solver”.
Penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat bukan hanya pelaksanaan perundang-undangan dan dominasi aparat penegak hukum, masyarakat juga dapat mengambil bagian dalam menciptakan keamanan dan ketertiban, minimal di lingkungannya masing-masing. Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan keamanan dan ketertiban, sehingga sangat diperlukan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.
Keterlibatan lembaga adat dalam penyesaian masalah-masalah sosial dan konflik merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat untuk mengendalikan keamanan dari berbagai potensi ancaman konflik sosial. Dengan instrumen hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat, maka lembaga-lembaga ada tersebut menjadi Crime Control ditengah-tengah masyarakat.